Langsung ke konten utama

Sistem Pengobatan Urang Banjar: Pandangan Bapidara Dalam Aspek Kesehatan

Suku Banjar merupakan penduduk asli sebagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan. Mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Kategori atas berbagai sistem kepercayaan yang ada ini dalam masyarakat Banjar sebagian berdasarkan atas kesatuan-kesatuan sosial yang menganutnya. Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.
Bapidara sering dilakukan oleh ibu atau keluarga terutama suku banjar bila anaknya mengalami demam, disadari atau tidak ini dilakukan secara turun temurun dan dilakukan oleh ibu atau keluarga dari yang tingkat pendidikannya rendah sampai tingkat pendidikan tinggi, dari keluarga kurang mampu sampai keluarga kaya. Pada dasarnya sistem pengobatan tradisional yang di kenal cukup luas oleh urang banjar merupakan pengetahuan yang di wariskan oleh nenek moyang dahulu. Ada kalanya penyakit tersebut hanya dapat disembuhkan dengan ritual dan doa-doa.
Banyak hal didunia ini yang kadang tak masuk akal. Salah satunya dalam hal pengobatan. Seperti teknik pengobatan tradisional pada masyarakat Banjar, yang dikenal dengan nama Kapidaraan. Pengobatan yang dilakukan dengan ritual dan prosesi tertentu itu, penuh nuansa magis dan gaib. Kapidaraan sendiri sering kali tidak dapat diobati dengan medis. Memang sulit untuk di percaya secara logis tapi ini memang kepercayaan yang muncul dengan terbukti adanya.
Pengetahuan tentang Pengobatan tradisional, pengobatan tradisional ini ada yang didapat dari keturunan yang di wariskan secara turun-temurun ataupun dari belajar. Dalam pengobatan tradisional ini bahan yang digunakan untuk obat berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat ini hampir diketahui oleh semua suku Banjar karena selalu digunakan untuk penyakit yang mereka ketahui, penyebarannya pun lewat mulut ke mulut. Pengobatan Tradisional ini penyembuhannya ada dengan tindakan jasmani dan ada dengan tindakan rohani. Tindakan pengobatan secara jasmani ini yaitu tukang urut atau tukang pijat, Bidan beranak/melahirkan, yang mana pengetahuan ini mereka dapat dari orang tua atau keluarga karena faktor keturunan.
Mungkin anak-anak sekarang kalau dikatakan kapidaraan akan tertawa. Logis memang. Zaman sudah semaju ini masih saja ada kepercayaan animisme seperti itu. Proses ritual pengobatan kapidaraan disebut mamidarai. Mamidarai merupakan semacam ritual animisme yang sudah mendapatkan 'napas-napas' islami, walaupun mantra-mantra dulu masih ada. Prosesi ini memanfaatkan rempah seperti janar (kunyit), beras putih, dupa/parafin, kapur dan parang (golok). Ritual mamidarai masih dapat kita jumpai di beberapa tempat di daerah Hulu Sungai misalnya di daerah Kandangan, mereka masih mempercayai dengan adanya mamidarai dengan bisa menyembuhkan orang sedang sakit.
Meskipun proses ritual yang sangat sulit di masukan ke akal dalam masyarakat Hulu Sungai bapidara di anggap sudah lumrah bagi pengobatan penyakit bagi seseorang yang terkena gangguan makhluk gaib khususnya bagi bayi ataupun orang dewasa. Namun di balik kegiatan mamidarai ternyata ada khasiat yang tersembunyi dari sebuah kunyit yang tidak banyak orang tahu, dan itulah kenapa media kunyit yang di gunakan oleh orang dahulu sebagai alat kegiatan mamidarai dalam kebudayaan urang banjar
Kapidaraan, asal katanya adalah pidara yang berarti arwah atau roh orang yang sudah meninggal dunia. Tak ada yang tahu pasti apakah pidara berasal dari rumpun bahasa Dayak atau Melayu tua. Kapidaraan disebabkan arwah atau roh orang yang sudah meninggal dunia, menyapa seseorang. Itu bisa terjadi ketika seseorang itu melewati kuburan, tempat angker atau seusai melayat. Biasanya, yang sering kapidaraan adalah bayi dan anak kecil. Namun tak jarang, kapidaraan menimpa orang dewasa. Orang dewasa yang kapidaraan, biasanya mereka yang lemah atau jiwanya sedang kosong. Biasa disebut dengan istilah lamah bulu.
Ketika melintas di kuburan misalnya, arwah di dalam kubur menegur atau menyapa. Akibat sapaan itu, jiwa kita tidak sanggup menanggungnya hingga membuat kita sakit. Kapidaraan bisa juga karena kita ditegur/disapa oleh padatuan (nenek moyang atau ayah-ibu dari kakek) kita yang telah meninggal dunia. Sakit yang diderita seseorang yang ka-pidaraan, biasanya berupa naiknya panas tubuh. Telinga, telapak tangan dan telapak kaki menjadi ganyam (sangat dingin). Orang yang ka-pidaraan juga susah tidur, kada karuan rasa (merasa serba salah) dan tak jarang seperti ketakutan. Bila bayi atau anak-anak yang ka-pidaraan, maka akan menjadi sangat rewel, tubuh panas dan tidak bisa tidur. Mereka bertingkah seakan tengah melihat hantu.
Secara medis, kapidaraan biasa diidentikkan dengan demam disertai panas tinggi. Obat penurun panas yang diberikan, dijamin tidak berpengaruh. Karena ka-pidaraan bukan penyakit. Untuk mengetahui seberapa parah kapidaraan orang tersebut dapat diketahui dari parutan janar. Janar/kunyit itu diparut dan diperas, apabila air yang keluar dari janar sedikit maka kapidaraan nya ringan, begitu pula sebaliknya.
Parang dihaling (diasapi) diatas dupa/parafin kemudian dicoretkan parutan tadi ke parang dengan membentuk 3 goresan yang disebut cacak burung. Dalam mamidarai dikenal bentuk cacak (jejak) burung. Sebagian parutan lain dicampur beras putih kemudian ditaburkan ke bumbunan (ubun-ubun) kepala si pasien pidara sambil dibacakan bermacam-macam mantra. Setelah itu baru sisa parutan janar tadi dioleskan ke berbagai tempat tertentu di tubuh seperti alis, telapak tangan, kaki dan lain-lain. Terakhir beras putih tadi dihamburkan ke halaman/pekarangan sambil tetap membaca mantra.
Pada suku Bukit tanda cacak burung dipakai ketika melaksanakan upacara adat dalam bentuk tarian ritual. Salah satu rumah Banjar dikenal dengan sebutan Rumah Cacak Burung karena bentuk atap bubungan rumah tersebut serta denah rumah ini berbentuk + (tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung (wikipedia).
Penggunaan media parang, diyakini sebagai benda yang ditakuti setan, arwah dan roh. Kebalikannya, dupa dimaksudkan mengundang malaikat untuk datang. Sedang penggunaan Janar, kapur sirih, Baras putih, dan makna tanda silang yang dilukiskan di sekujur tubuh masih belum bisa dijelaskan. Melihat dari semua kegiatan proses pidara, cukup sulit diterima bagi akal sehat bagaimana bisa ritual tersebut dapat menyembuhkan penyakit demam panas tinggi tersebut, apalagi hanya dengan mencoretkan janar di kening dan beberapa bagian tubuh. Mungkin kekuatan sugesti disini lebih mampu mengalahkan kekuatan obat medis mana pun. Begitulah adat pidara, diwariskan turun-temurun.
Sakit yang diderita seseorang yang kapidaraan, biasanya berupa naiknya panas tubuh. Telinga, telapak tangan dan telapak kaki menjadi ganyam (sangat dingin). Orang yang kapidaraan juga susah tidur, kada karuan rasa (merasa serba salah) dan tak jarang seperti ketakutan. Bila bayi atau anak-anak yang ka-pidaraan, maka akan menjadi sangat rewel, tubuh panas dan tidak bisa tidur. Mereka bertingkah seakan tengah melihat hantu. Secara medis, kapidaraan biasa diidentikkan dengan demam disertai panas tinggi. Obat penurun panas yang diberikan, dijamin tidak berpengaruh. “Karena kapidaraan bukan penyakit” menurut nenek moyang dahulu.
Parutan Janar yang diperas, sebagai pendeteksi apakah si sakit benar kapidaraan atau tidak. Bila parutan Janar tidak mengeluarkan air yang banyak ketika diperas, menandakan si sakit tidak sedang ka-pidaraan. Mungkin hanya panas demam biasa. Bila parutan Janar mengeluarkan banyak air ketika diperas, dipastikan si sakit memang kapidaraan. Semakin banyak air yang keluar, semakin berat kadar kapidaraan yang dideritanya. Beliau juga menjelaskan jika parutan janar berwarna sangat kuning maka itu akan sangat menguatkan bahwa si penderita memang kapidaraan
Jika beratnya kadar kapidaraan yang diderita seseorang, teknik, media, prosesi tetap sama. Hanya saja, tingkat kesembuhan yang berbeda. Bila kapidaraan ringan, kesembuhan datang lebih cepat, bisa hanya dalam hitungan jam. Namun bila berat maka kesembuhan datang lebih lama, biasa dalam hitungan hari. Mereka yang menjadi korban sapaan roh itu, disebut ka-pidaraan. Proses pengobatannya disebut mamidarai Sedang mereka yang tengah diobati dari ka-pidaraan, disebut di pidara.
Kapidaraan, mamidarai dan dipidara, adalah rangkaian prosesi yang berumur sangat tua. Dipercaya, fenomena kapidaraan ini sudah dikenal masyarakat Banjar sejak jaman pra Islam. Sejak itu, teknik mamidarai masih menggunakan lafal dan mantra-mantra. Seiring masuknya Islam, fenomena ini mengalami transformasi. Berkat kearifan ulama zaman dahulu, prosesi pidara dikawinkan dengan budaya dan nafas Islam, tanpa menghilangkan seluruhnya budaya lokal. Jadilah prosesi pidara bernafaskan Islam yang dikenal kini.
Penggunaan lafal dan mantra, digantikan dengan ayat-ayat suci Al Quran. Namun ciri khas budaya lokal masih terjaga. Semua disimbolkan melalui media Janar, Baras putih, parang, parafin, dupa dan kapur. Begitu pula dengan kalimat atau mantra penutup saat melempar sisa perasan Janar dan Baras putih, masih menggunakan mantra lokal, termasuk simbol Cacak Burung. Diceritakan Nenek Abiah, sebelum ibunya meninggal dunia, ia sempat bertanya bacaan dan hafalan yang digunakan untuk mamidarai. Namun kala itu, ia hanya sekedar tahu.
Melihat peralatan saat mamidarai dan jalannya prosesi, sungguh tidak masuk akal bila olesan Janar yang di gambar berbentuk Cacak Burung mampu menurunkan panas tubuh dan perasaan tidak enak yang diderita. Namun faktanya, namun dengan seiring perkembangan zaman tidak banyak orang yang tahu bahwa fungsi dari kunyit itu sendiri memiliki kandungan apa dan kenapa kunyit yang di gunakan dalam kegiatan mamidarai.
Sebetulnya untuk menggunakan kegiatan pidara ini bisa dilakukan sendiri di rumah, hanya saja kebanyakan orang tidak percaya diri atau yakin sehingga minta bantuan ahlinya karena pada dasar nya kunyit memang mempunyai fungsi sebagai anti peradangan untuk tubuh. Caranya, ambil sepotong kunyit yang dibersihkan, kemudian parut lalu diolesi dengan kapur sirih. Bila memang ada angin negatif dalam tubuh, parutan kunyit akan berubah menjadi warna merah darah pekat. Kalau tidak ada, maka campuran itu hanya berwarna kunyit biasa berwarna jingga.
Faktor lain dari kapidaraan selain di ganggu makhluk halus adalah kepercayaan zaman nenek moyang dulu ketika keluar pada saat senja kuning maka akan kapidaraan, di hubungkan dengan mitos maka pemikiran-pemikiran orang zaman dahulu sehingga menyebabkan melarang anaknya Tidak diperbolehkan keluar dan beraktivitas di luar rumah pada waktu senja kuning ini, khususnya untuk anak-anak untuk duduk di depan pintu dan beranda rumah, tidak diperbolehkan memasak dengan menggunakan kompor, tetapi harus menggunakan kayu bakar, dianjurkan untuk berdoa memohon perlindungan, juga dilarang membunyikan dan memainkan alat musik. Semua itu di lakukan agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.
Menurut Jamalie (2011) dalam jurnal Ermadayanti (2018) memaparkan penanganan anak demam pada suku banjar berbeda dengan pengobatan tradisional, salah satu hal yang membuatnya unik dalam kajian kesehatan adalah budaya bapidara, dimana ketika anak sakit demam, tangisan melengking maka dibawa kepada orang yang bisa mamidarai dengan menggunakan parutan kunyit dan kapur kemudian dioleskan pada daerah lipatan tubuh anak maka demam, gelisah dan anak berangsur tenang serta dalam waktu singkat sembuh. Tanpa mengesampingkan keluhuran budaya nenek moyang kita dan tetap menghormatinya sebagai unsur pembentuk kehidupan bermasyarakat kita. Bapidara adalah salah satu budaya mengatasi anak demam yang menurut penulis belum dapat dikategorikan sebagai pengobatan tradisional dan tentu saja belum dapat dibuktikan kebenarannya, kunyit memang telah diyakini mengandung zat yang bermanfaat bagi kesehatan bahkan kunyit termasuk dalam tanaman obat keluarga untuk mengatasi bermacam penyakit termasuk demam hanya saja dari beberapa referensi yang penulis baca kunyit selalu menjadi bahan ramuan untuk di minum tidak untuk dioleskan sementara kapur sirih adalah hasil endapan batu kapur atau gamping bahkan dalam beberapa artikel yang penulis baca kapur sirih justru tidak disarankan untuk di berikan di sekitar area wajah karena kandungan zat yang ada di kapur sirih cukup panas.
Jadi kunyit yang di campur dengan kapur tidak di sarankan karena kandungan kapur yang sudah kita ketahui panas apalagi jika di oleskan pada wajah, terutama pada wajah anak kecil hingga balita yang pada umumnya kulit mereka sangat sensitif. Penanganan yang tepat dan cepat pada anak demam sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya keadaan yang lebih buruk seperti komplikasi dehidrasi, penurunan kesadaran atau fungsi neurologis, kejang demam bahkan kematian. Untuk penanganan yang seharusnya jika demam anak tidak turun selama 3 hari berturut-turut maka penanganan medis harus segera di butuh kan.
Penyembuhan terhadap suatu penyakit di dalam sebuah masyarakat dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dalam masyarakat sesuai kepercayaan masyarakat tersebut. Ketika manusia menghadapi berbagai masalah di dalam hidup seperti sakit, manusia berusaha untuk mencari obat untuk kesembuhan penyakitnya itu. Bukan hanya pengalaman, dan faktor ekonomi yang mendorong seseorang mencari pengobatan. Akan tetapi faktor budaya, sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perilaku pemilihan cara pengobatan yang tentu saja diharap kan tepat dan diyakini dapat mengatasi permasalahan sakit tersebut dengan meminimalkan kemungkinan risiko.
Budaya pidara memang harus di lestarikan namun campuran kapur yang selama ini di campur sebaiknya di hilangkan, kegiatan pidara bisa di lakukan dengan campuran kunyit dan beras saja dan di hilangkan kapur yang selama ini membuat kesalahpahaman yang mana campuran tersebut malah membuat kulit si penderita kapidaraan menjadi panas dan membahayakan kesehatan kulit anak-anak ataupun balita.


Rujukan: 
Narasumber: Nenek Abiah (Dari HSS pekerjaan beliau mamidarai)
Ermadayanti. 2018. Bapidara Pada Anak Demam Solusi Atau  Sugesti. Banjarmasin: Jurnal Info dan Tips Kesehatan
Myrasta. 2009. https://myrasta.wordpress.com/2009/10/08/kapidaraan-antara-ritual-dan-pengobatan/ . Di akses tanggal 23 Juli 2018

Komentar